Kamis, 07 Agustus 2008

Hantu di Belakang Rumah



BELUM genap dua minggu kami menempati rumah baru yang terletak di pinggiran kota. Namun kami cepat merasa kerasan. Selain pekarangan dan rumahnya lebih luas, suasana kampung yang tenang juga membuat cepat jatuh hati.
Lain dengan rumah lama yang berada di tepi jalan raya tengah kota. Terasa sempit karena jarak dengan rumah-rumah tetangga sangat berdekatan. Setiap hari juga selalu terganggu oleh suara bising kendaraan.
Belum lagi kalau musim hujan tiba. Rumah selalu menjadi langganan banjir. Air dari jalan yang lebih tinggi masuk ke dalam sampai hampir setengah meter.
Tidak tahan dengan banjir yang selalu datang tiap tahun itu, istriku kemudian mendesak agar pindah saja. Setelah memperoleh rumah di pinggiran kota, akhirnya kupenuhi permintaan itu. Rumah lama dijual dan kami sekeluarga pun pindah.
Hari-hari pertama menempati rumah baru, kedua anakku mengeluh. Jarak ke sekolah menjadi agak jauh. Kalau dulu cukup berjalan kaki lima menit sudah sampai, kini paling tidak perlu setengah jam dengan naik sepeda.
''Itu malah baik buat kalian. Selain harus bangun pagi, dengan bersepeda juga membuat badan menjadi sehat,'' kataku menghibur.
Lama-lama mereka berdua tampaknya bisa merasakan kebenaran ucapanku itu. Bangun pagi dan mengayuh sepeda ketika berangkat serta pulang sekolah, membuat badan terasa lebih segar.
Pekarangan rumah baru kami yang luas sangat membahagiakan istriku. Kegemarannya menanam bunga, empon-empon (tanaman obat-obatan), dan tanaman jenis lainnya bisa tersalurkan.
Waktu masih bermukim di tengah kota dengan pekarangan yang sempit, ia hanya berkutat dengan pot-pot di depan rumah. Kini soal tanam-menanam menjadi sangat leluasa.
Dalam waktu singkat, tanah di depan dan samping rumah sudah berisi beraneka bunga. Kebun belakang ia rencanakan ditanami empon-empon dan buah-buahan.
Setiap pagi dan sore istriku mempunyai kesibukan. Menyiram, menyiangi, atau menanam tanaman baru. Kedua anakku sering membantu. Sedangkan aku hanya kadang-kadang saja.

***

SUATU hari anakku sulung, Aura bercerita. Ketika membantu ibunya menyirami tanaman menjelang Maghrib, beberapa kali melihat sesosok bayangan melintas di kebun.
''Sudah tiga kali aku melihat. Mungkin di kebun belakang itu ada hantunya,'' tuturnya dengan nada ketakutan.
''Kamu saja yang penakut. Di sini kan tidak ada tempat angker tempat tinggal hantu. Makam atau pohon besar juga tidak ada,'' kata Angga, adiknya menyanggah.
''Kamu belum melihat sendiri sih,'' gerutunya.
Kasak-kusuk di antara mereka soal hantu di belakang rumah berhenti sampai di situ. Yang jelas, sejak saat itu Aura enggan menyiram tanaman waktu sore, apalagi petang menjelang malam.
Sampai suatu malam, kudengar jeritan istriku di kebun belakang rumah ......

Kendal-Semarang 1998

Selasa, 05 Agustus 2008

Waktu-waktu yang Berlalu



''ANAKMU sudah berapa ?''
''Baru satu, perempuan. Kau ?'' Ben balik bertanya.
''Sama, satu juga.''
''Perempuan atau lelaki ?''
''Lelaki. Wah, nakalnya minta ampun.''
''Persis Bapaknya tentu.''
Wanita berambut sebahu itu tertawa. Suara tawanya yang renyah membuat Ben terjerembab pada suatu waktu, sekian tahun lalu.
''Kau telah menjadi orang sukses sekarang,'' kata si wanita menyadarkan Ben yang sempat tenggelam selama beberapa detik dalam lamunan menyenangkan.
''Sukses apanya. Ya, hanya begini-begini saja,'' jawabnya.
''Kau ingat Bu Tiwi ?''
''Guru Biologi waktu kita SMP ?''
Wanita itu tersenyum. Lagi-lagi senyumnya menyeret ke relung-relung waktu yang telah berada jauh di belakang. Ada perasaan aneh di dada Ben. Menyenangkan sekaligus memabukkan !
''Kau pasti tidak pernah bisa melupakan beliau,'' ujar si pemilik senyum memabukkan.
''Ya, ya. Aku masih ingat julukan kalian padaku. Anak emas Bu Tiwi,'' kata Ben sambil mengingat-ingat gurunya.
''Setiap ulangan nilaimu hampir bisa dipastikan sepuluh. Bu Tiwi beberapa kali pernah mengatakan, kau akan jadi orang sukses.''
''Jangan mengada-ada. Apalah aku ini ?! Hanya kuli yang mencari makan, seperti orang-orang lain.''
''Tak pernah berubah kau ini. Selalu merendah. Bahkan dulu kau terkenal diamnya minta ampun. Persis gamelan. Kalau tidak ditabuh, tidak bunyi.''
Ben hanya tertawa-tawa mendengar komentarnya. Meraih gelas es jeruk di atas meja, menyeruputnya. Wanita di depannya minum air mineralnya sampai hampir habis. Ben menawarkan menambah isi gelasnya, tapi ditolak secara halus.
''Berapa tahun ya kita tak ketemu ?'' tanya Ben kemudian.
''Kira-kira sebelas atau dua belas tahun,'' jawab si wanita.
''Ya, setelah kamu sekolah ke Jakarta.''
''Ah, anak bodoh macam aku ini memang susah cari sekolah. Dua tahun menganggur setelah lulus SMA, kebetulan paman menawariku bekerja di perusahaannya. Daripada lama-lama jadi linglung, aku ikut saja.''
''Kamu beruntung. Sekarang sudah menduduki posisi manajer. Meskipun kau tidak mau berterus terang, aku tahu pendidikanmu cukup tinggi.''
''Ah, apalah aku ini ?'' kata wanita itu sambil tersipu-sipu, kemudian tertawa. Dia menyadari telah menggunakan kalimat yang sama dengan yang diucapkan Ben tadi.
''Tidak ada apa-apanya dibanding kau. Orang kedua pada sebuah perusahaan periklanan terbesar di negeri ini,'' lanjutnya.
''Aku sebenarnya orang yang gagal total,'' kata Ben.

Teror

TIDAK sia-sia Topang berhari-hari melakukan investigasi. Bahkan harus rela kurang tidur dan lupa makan. Berita kasus korupsi miliaran rupiah di sebuah instansi pemerintah itu menjadi head line halaman satu koran tempatnya bekerja.
''Teruskan. Koran lain belum ada yang punya. Kita selangkah di depan,'' kata Gopil kepala biro kota atasannya memberi semangat.
Topang pun makin bergairah menelusuri kasus itu lebih jauh. Ia berusaha menghubungi sumber-sumber lain untuk mendukung berita yang ditulisnya.
Esoknya lanjutan kasus itu menjadi head line di halaman satu kembali. Dia tersenyum tipis ketika membaca koran-koran pesaing lain. Beritanya sangat ketinggalan dibandingkan dengan yang dia turunkan.
Dampak dari berita itu, selain oplah korannya naik, pihak berwewenang juga tergerak mulai turun melakukan penelitian dan penyidikan terhadap instansi cukup vital tersebut.
''Kau ini punya berita bagus tidak ngasih tahu ?!'' semprot rekannya wartawan dari koran lain.
''Enak saja kalian. Jadi wartawan ya harus mau kerja keras. Jangan mau enaknya saja, hanya ngopy,'' balas Topang sengit.
''Sombong kau ! Mana yang namanya kerja sama antarwartawan ?'' sahut yang lain dengan nada marah.
''Lho, aku ini susah-susah menelusup kesana-kemari, lalu kalian enteng saja minta data ? Kalau mau kerja sama, ya ayo turun bersama-sama,'' jawabnya, juga dengan suara marah dan tersinggung.
Topang lantas ingat, untuk memperoleh data dan menelusuri sumber-sumber harus banyak menghadapi rintangan. Malah hampir saja digampar salah seorang pejabat yang tampak tidak berkenan dia kejar-kejar.
Selain keki rekan wartawan lain diam-diam salut terhadapnya. Tiga tahun menjadi wartawan kriminal Topang selalu berada di depan dalam soal memperoleh berita-berita eksklusif.
Itu karena jaringannya cukup kuat di kepolisian, kejaksaan, instansi lain dan kalangan preman. Kejadian sekecil apa pun selalu berhasil dideteksinya.
''Mungkin juga karena penampilanmu yang seperti preman turut mendukung,'' gurau salah seorang rekan wartawan satu koran dengannya.
***
SORE, pada hari ketiga sejak kasus itu menjadi berita besar, dia menerima telepon.
''Halo, dari siapa ini ?'' tanyanya.
''Saudara tidak perlu tahu siapa saya. Yang penting, bila ingin selamat jangan teruskan berita Anda,'' suara lelaki itu datar dan dingin.
Belum sempat hendak mengejar lagi, hubungan telepon diputus. Topang tenang-tenang saja.
''Sialan. Gue kok cuma diancam segitu,'' gerutunya sambil kembali ke depan komputernya.
''Diancam siapa, Pang ?'' tanya Boceng, wartawan unit Pemda.
''Tahu, tuh.''
Ancaman memang sudah menjadi hal biasa. Entah berapa kali dia harus menghadapi hal seperti itu. Baik berupa telepon gelap maupun ancaman langsung. Sejauh ini risiko-risiko seperti itu bisa ditanggulangi.
Beberapa kali dihadapi sendiri. Beberapa kali yang lain terpaksa harus meminta tolong kenalan polisi atau tentara.
Namun besoknya telepon dari orang yang sama kembali dia terima. Bahkan dalam sehari sampai tujuh kali. Kalimat yang diucapkan juga sama seperti sebelumnya. Topang tetap cuek tak mempedulikan.
Namun ketika hari-hari berikutnya hal itu berulang, tidak hanya di kantor tapi juga di rumah kontrakannya, kekesalannya mulai terusik ...........

Semarang, April 1997

Jemput Aku di Kingsford Airport

TELEPON di ujung tangga menuju lantai dua flat berbunyi. Saat itu aku sedang siap-siap tidur. Dengan mata mengantuk kuraih gagang telepon.
''Halo ....''
''Hei Bob. Lagi ngapain ?'' Suara wanita di ujung sana sangat kukenal. Terutama karena tidak ada orang lain yang memanggil dengan nama itu kecuali dia.
''Farina ya ?!'' jawabku ingin meyakinkan.
Ia tertawa. Tawa khas yang diam-diam selalu menimbulkan rasa rindu.
''Sori ya. Di sini pasti sudah hampir dini hari,'' lanjutnya.
''Pukul dua pagi. Aku baru mau tidur setelah nglembur bikin paper,'' sahutku.
''Di Indonesia pukul 21.00. Berarti selisih tiga jam dengan Australia.''
''Benar. Ada apa kok sempat-sempatnya telepon tengah malam begini ?''
''Lagi iseng saja. Soalnya sedang bosan dan capek.''
Keningku berkerut. Ia selalu mengulang-ulang kalimat itu: Aku sedang bosan, Bob. Aku sedang capek, Bob. Kalau tidak salah telah belasan kali diucapkan, sejak pulang mengikuti kejuaraan Swiss Terbuka sebulan lalu.
''Hei ... melamun ya. Atau ngantuk berat ?''
''Nggak, kok.''
''Jadi, ngobrolnya dilanjutkan ?''
''Of course !''
''Katanya, di sini sedang mengalami puncak musim dingin ya ?''
''Ya. Saat ini aku harus mengenakan pakaian rangkap tiga, celana rangkap dua. Dinginnya minta ampun, Fa. Pukul delapan pagi pun masih menggigil. Apalagi kadang-kadang hujan seharian. Malas mau kemana-mana.''
''Tiap hari kuliah ?''
''Nggak juga. Tapi masih harus memperbaiki bahasa Inggrisku seminggu tiga kali. Tempatnya dekat kok. Paling-paling hanya lima belas menit jalan kaki dari flat.''
''Tempat kuliahnya juga dekat ?''
''Lumayan jauh. Flatku kan di Manly, salah satu suburb di timur laut Sydney. Kampusnya di pusat Kota Sydney. Dari sini naik feri sekitar setengah jam. Lalu ganti bus atau kereta api sepuluh menit.''
''Asik, dong.''
''Asik apanya. Di sini harus kerja keras. Setiap hari isinya belajar melulu. Tugasnya banyak.''
''Setidaknya kamu lebih happy daripada aku.''
''Mana bisa. Jelas kamu lebih happy, dong. Atlet ternama di dunia, kaya, banyak pengagumnya dan ... cantik, hahaha ....''
''Siapa bilang aku happy ?''
''Banyak yang bilang begitu. Masak nggak sih ?''
Ada helaan napas di ujung sana. Kubayangkan, mimik wajahnya kini berubah menjadi serius.
''Terus terang aku nggak happy, Bob,'' jawabnya kemudian.
''Lo. Memangnya kurang apa ?''
''Kamu tahu. Selama ini aku tak bisa memiliki diriku sendiri. Tak bisa menikmati hal-hal yang seharusnya dinikmati anak-anak muda seusiaku. Main, sekolah, pacaran ..... Belasan tahun hidupku hanya berkutat di sekolah khusus atlet, kemudian dari pelatnas ke pelatnas. Aku seolah-olah milik seluruh bangsa. Kalau sukses menjadi juara di suatu turnamen, semua menyanjung. Tapi kalau kalah, semua menyalah-nyalahkan. Sepertinya aku harus menang terus demi mereka. Nggak boleh kalah. Runner up pun nggak boleh. Harus juara ! Aku seperti robot, Bob. Aku bosan dengan itu semua. Capek ....''
''Itulah risiko. Apa pun ada risikonya, Fa. Mestinya kau sudah siap menghadapi. Selama ini kau kunilai sudah cukup dewasa untuk menerima risiko-risiko itu.''
''Tapi ini terlalu berat. Baru sekarang terasa. Nasibmu lebih baik, Bob. Memutuskan untuk memilih dunia lain pada saat yang tepat.''
Mendengar ucapan itu, aku segera ingat kenangan pahit setahun lalu. Dianggap tak mampu berprestasi lagi, lantas dicoret dari pelatnas. Memang, selama hampir tujuh tahun menghuni kompleks atlet-atlet utama bulutangkis, prestasiku jeblok. Tidak pernah jadi juara. Paling banter hanya semifinalis. Itu pun kalau dihitung-hitung belum ada sepuluh kali.
Begitu dicoret memang sempat sakit hati. Namun keluarga dan teman-teman menghibur, termasuk Farina.
''Sudahlah. Masih banyak jalan lain menuju sukses.''
Masih kuingat kata-katanya yang membangkitkan semangat itu. Akhirnya, dengan tabungan yang ada aku melanjutkan studi ke University of Sydney.
''Hei, melamun lagi ya ?'' ujarnya dari seberang sana, menyentakkan hening sekian puluh detik.
''Eh ... nggak. Sampai mana tadi ?''
''Begini. Aku ingin mengundurkan diri, sebelum benar-benar terpuruk menjadi pecundang di mana-mana. Kupikir sudah cukup yang kulakukan selama ini.''
''Jangan dulu, Fa. Kamu masih dalam usia puncak. Bisa bertahan dua atau tiga tahun lagi. Apalagi negeri kita masih membutuhkanmu untuk mempertahankan kejuaraan dunia beregu.''
''Tapi sudah nggak tahan, Bob. Aku ingin merasakan suatu kehidupan yang lain.''
Aku terdiam .........................


Semarang, Maret 1998

Tetangga Baru

RUMAH di seberang jalan itu kini berpenghuni setelah hampir setengah tahun kosong. Pemiliknya alih tugas ke luar Jawa dan menitipkannya kepada Pak RT. Jika ada yang mau mengontrak dipersilakan berurusan langsung dengannya.
''Soal uang kontrak tak terlalu menjadi masalah. Yang penting ada yang menempati, sehingga rumah itu tidak rusak atau menjadi sarang hantu,'' ujar Pak RT.
Namun penawaran dari mulut ke mulut sampai berbulan-bulan belum mendapatkan hasil. Menurut desas-desus yang beredar, Pak RT yang diberi wewenang penuh oleh pemiliknya menggunakan aji mumpung.
Ia menerapkan uang kontrak agak tinggi. Sehingga tidak mengherankan setiap kali ada peminat yang mencoba melakukan negosiasi, akhirnya mengundurkan diri karena tidak tercapai kesepakatan.
Ketika akhirnya ada peminat yang jadi menghuni rumah itu, gunjingan yang lain beredar lagi. Menurut tetangga sebelah, Pak RT terpaksa menurunkan penawaran karena terdesak kebutuhan. Anaknya mendaftar jadi pegawai sebuah instansi dan memerlukan uang semir dengan jumlah cukup tinggi. Katanya sekitar sepuluh juta rupiah.
Sekarang pembicaraan di lingkungan RT kami yang terdiri atas dua puluh tujuh kepala keluarga itu, tak pernah lepas dari tetangga baru tersebut.
''Ternyata tetangga baru kita itu wakil rakyat ya,'' kata Diding yang mengaku sudah beberapa kali bertamu.
''Wah, kalau begitu kita bisa titip aspirasi dong,'' sahut Pak Ayat.
'' Ya ya, kita mesti bangga. RT ini menyimpan potensi orang-orang hebat. Ada wakil rakyat, guru banyak, calon sarjana juga buanyakk ...,'' tambah Pak Karun, penjual soto yang hobi main catur.
Tetangga baru itu tak habis-habisnya menjadi bahan perbincangan. Baik di poskamling, di warung-warung, maupun di lapangan tengah kampung tempat warga bersantai dan berolah raga.
Apalagi Pak Sonto, nama tetangga baru itu, serta istri dan tiga anaknya cukup supel bergaul. Dalam waktu singkat hampir seluruh warga RT telah diakrabinya.
Suatu hari istriku dengan wajah berbinar-binar menceritakan, sore sebelum aku pulang kerja Pak Sonto dan istrinya menyempatkan diri berkunjung ke rumah.
''Susah mencari orang seperti mereka sekarang. Mau-maunya meluangkan waktu ke sini hanya untuk memperkenalkan diri. Sudah begitu, ramah-ramah lagi,'' tuturnya.
Aku hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum.
''Sayang kau belum tiba di rumah,'' lanjut istriku.
''Anak sulung perempuannya satu SMU dengan anak laki-laki kita,'' tambahnya.
''O ya?'' ujarku setengah hati menanggapinya.
***
Pesona tetangga baru itu telah membius hampir seluruh warga RT kami. Apalagi dalam rapat RT atau forum ngobrol-ngobrol biasa, wakil rakyat yang diam-diam telah menjadi idola warga tersebut selalu melontarkan ide-ide cemerlang.
Misalnya, ia menyarankan agar jalan kampung kami diaspal biar lebih mulus dan rapi. Mengenai dana, ia berjanji akan menggunakan kedudukannya sebagai wakil rakyat untuk mengajukan proposal ke instansi-instansi terkait.
Belum tuntas idenya yang satu, Pak Sonto kembali melontarkan pemikiran untuk membuat taman-taman di beberapa tempat strategis. Dananya diupayakan secara swadaya dengan cara iuran seluruh warga. Jika belum cukup, ia sanggup mencarikan sponsor dari beberapa perusahaan.
Belum terealisasi gagasannya soal taman, ia mengusulkan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dengan kolam ikan dan ternak ayam.
''Saya kenal pejabat-pejabat instansi yang berkaitan dengan masalah perikanan dan peternakan. Bapak-bapak itu akan saya datangkan untuk memberi penyuluhan, sekaligus membantu kita,'' katanya meyakinkan dalam perbincangan suatu sore di poskamling.
Namun ketika ia hanya ngomong dari satu ide ke ide lain tanpa ada wujud nyatanya, sebagian dari kami mulai menunjukkan ketidaksukaannya. Mereka yang tidak suka biasanya hanya berani ngedumel di belakang.
''Rasa-rasanya bapak wakil rakyat kita ini kok cuma bisa ngomong saja. Tak ada upaya mewujudkannya menjadi kenyataan,'' ujar salah seorang di antara kami.
''Terus terang, respek saya kini mulai berkurang,'' sahut yang lain.



Kendal, Februari 1998

Takut

LELAKI hitam kurus berusia menjelang empat puluhan itu terduduk di punggung batu cadas sebesar kerbau. Di sekelilingnya terhampar perbukitan kapur, berselang-seling dengan pohon-pohon dan semak belukar.
Ia menghela napas berulang kali. Keringat meluncur deras di kulit tubuhnya. Baju dan celana panjang kumal yang sudah lima hari dipakainya menguarkan bau kecut. Tapi ia tak peduli.
Entah sudah berapa kilometer lelaki itu berjalan. Sesekali berlari-lari kecil menghindari ketakutan yang mengejar-ngejarnya. Perasaan takut terus mendera sampai ke pikiran dan jantungnya.
Oleh karena itu, kewaspadaannya selalu terjaga. Mata dan telinganya akan segera curiga jika melihat sekelebat bayangan atau mendengar selintas suara. Ia selalu menghindari jalan-jalan yang diperkirakan sering dilewati orang.
Meskipun sudah berupaya menghindar, tetapi beberapa kali terpaksa berpapasan dengan orang. Jika sudah demikian jantungnya akan makin keras berdetak. Ketakutan pun makin merajam batinnya.
Ada rasa bersalah bercampur malu. Itu memaksanya untuk menundukkan wajah jika berpapasan dengan orang. Meskipun sudah berupaya bersikap wajar, tetapi perasaan-perasaan seperti itu sulit diusirnya.
Matahari mengapung di tengah langit. Panasnya membakar kawasan perbukitan kapur. Namun lelaki itu tak merasakan panas yang menjilat ubun-ubun. Matanya kosong menerawang ke kejauhan.
Sayup-sayup dari arah perkampungan di bawah perbukitan itu terdengar adzan salat dzuhur. Ia tersentak dari lamunan. Mengusap wajah yang basah oleh lelehan keringat.
Bibirnya kering. Haus. Perutnya dari tadi berbunyi, tanda berontak minta diisi. Kini suara dari perut yang mirip kokok ayam itu makin keras dan sering terdengar.
Sudah beberapa hari ini perutnya hanya diisi seadanya. Jika ketemu singkong di ladang orang, ia makan singkong. Jika bertemu pohon mangga atau jambu entah milik siapa, maka buah-buah itu pun dimakannya meskipun masih belum matang.
Sekali lelaki itu memberanikan diri minta nasi kepada penduduk suatu kampung yang dilewatinya. Dengan ramah salah seorang penduduk memberinya makan dan minum. Bahkan menawari tambah dan bermalam.
Namun tawaran yang simpatik dan tulus itu ditolaknya secara halus. Kewaspadaan dan rasa curiga telah mencegahnya. Ia takut orang-orang akan tahu rahasia yang disimpannya rapat-rapat.
''Sebenarnya Anda ini mau pergi kemana ?'' tanya orang yang memberinya makan tersebut.
''Em ... anu ... saya mau ke kota, tapi tersesat,'' jawabnya dengan wajah bersemu merah menahan malu.
Orang itu dengan suka rela menunjukkan arah jalan ke ibu kota kabupaten. Bahkan bersedia mengantarnya sampai ke jalan aspal kelas kecamatan. Lelaki itu tak bisa menolak jasa baiknya.
Sampai di pinggir jalan kecamatan ia pura-pura minta ditinggal sendirian untuk menyetop kendaraan ke arah kota.



Kendal, Februari 1998