Selasa, 05 Agustus 2008

Takut

LELAKI hitam kurus berusia menjelang empat puluhan itu terduduk di punggung batu cadas sebesar kerbau. Di sekelilingnya terhampar perbukitan kapur, berselang-seling dengan pohon-pohon dan semak belukar.
Ia menghela napas berulang kali. Keringat meluncur deras di kulit tubuhnya. Baju dan celana panjang kumal yang sudah lima hari dipakainya menguarkan bau kecut. Tapi ia tak peduli.
Entah sudah berapa kilometer lelaki itu berjalan. Sesekali berlari-lari kecil menghindari ketakutan yang mengejar-ngejarnya. Perasaan takut terus mendera sampai ke pikiran dan jantungnya.
Oleh karena itu, kewaspadaannya selalu terjaga. Mata dan telinganya akan segera curiga jika melihat sekelebat bayangan atau mendengar selintas suara. Ia selalu menghindari jalan-jalan yang diperkirakan sering dilewati orang.
Meskipun sudah berupaya menghindar, tetapi beberapa kali terpaksa berpapasan dengan orang. Jika sudah demikian jantungnya akan makin keras berdetak. Ketakutan pun makin merajam batinnya.
Ada rasa bersalah bercampur malu. Itu memaksanya untuk menundukkan wajah jika berpapasan dengan orang. Meskipun sudah berupaya bersikap wajar, tetapi perasaan-perasaan seperti itu sulit diusirnya.
Matahari mengapung di tengah langit. Panasnya membakar kawasan perbukitan kapur. Namun lelaki itu tak merasakan panas yang menjilat ubun-ubun. Matanya kosong menerawang ke kejauhan.
Sayup-sayup dari arah perkampungan di bawah perbukitan itu terdengar adzan salat dzuhur. Ia tersentak dari lamunan. Mengusap wajah yang basah oleh lelehan keringat.
Bibirnya kering. Haus. Perutnya dari tadi berbunyi, tanda berontak minta diisi. Kini suara dari perut yang mirip kokok ayam itu makin keras dan sering terdengar.
Sudah beberapa hari ini perutnya hanya diisi seadanya. Jika ketemu singkong di ladang orang, ia makan singkong. Jika bertemu pohon mangga atau jambu entah milik siapa, maka buah-buah itu pun dimakannya meskipun masih belum matang.
Sekali lelaki itu memberanikan diri minta nasi kepada penduduk suatu kampung yang dilewatinya. Dengan ramah salah seorang penduduk memberinya makan dan minum. Bahkan menawari tambah dan bermalam.
Namun tawaran yang simpatik dan tulus itu ditolaknya secara halus. Kewaspadaan dan rasa curiga telah mencegahnya. Ia takut orang-orang akan tahu rahasia yang disimpannya rapat-rapat.
''Sebenarnya Anda ini mau pergi kemana ?'' tanya orang yang memberinya makan tersebut.
''Em ... anu ... saya mau ke kota, tapi tersesat,'' jawabnya dengan wajah bersemu merah menahan malu.
Orang itu dengan suka rela menunjukkan arah jalan ke ibu kota kabupaten. Bahkan bersedia mengantarnya sampai ke jalan aspal kelas kecamatan. Lelaki itu tak bisa menolak jasa baiknya.
Sampai di pinggir jalan kecamatan ia pura-pura minta ditinggal sendirian untuk menyetop kendaraan ke arah kota.



Kendal, Februari 1998

Tidak ada komentar: