Selasa, 05 Agustus 2008

Teror

TIDAK sia-sia Topang berhari-hari melakukan investigasi. Bahkan harus rela kurang tidur dan lupa makan. Berita kasus korupsi miliaran rupiah di sebuah instansi pemerintah itu menjadi head line halaman satu koran tempatnya bekerja.
''Teruskan. Koran lain belum ada yang punya. Kita selangkah di depan,'' kata Gopil kepala biro kota atasannya memberi semangat.
Topang pun makin bergairah menelusuri kasus itu lebih jauh. Ia berusaha menghubungi sumber-sumber lain untuk mendukung berita yang ditulisnya.
Esoknya lanjutan kasus itu menjadi head line di halaman satu kembali. Dia tersenyum tipis ketika membaca koran-koran pesaing lain. Beritanya sangat ketinggalan dibandingkan dengan yang dia turunkan.
Dampak dari berita itu, selain oplah korannya naik, pihak berwewenang juga tergerak mulai turun melakukan penelitian dan penyidikan terhadap instansi cukup vital tersebut.
''Kau ini punya berita bagus tidak ngasih tahu ?!'' semprot rekannya wartawan dari koran lain.
''Enak saja kalian. Jadi wartawan ya harus mau kerja keras. Jangan mau enaknya saja, hanya ngopy,'' balas Topang sengit.
''Sombong kau ! Mana yang namanya kerja sama antarwartawan ?'' sahut yang lain dengan nada marah.
''Lho, aku ini susah-susah menelusup kesana-kemari, lalu kalian enteng saja minta data ? Kalau mau kerja sama, ya ayo turun bersama-sama,'' jawabnya, juga dengan suara marah dan tersinggung.
Topang lantas ingat, untuk memperoleh data dan menelusuri sumber-sumber harus banyak menghadapi rintangan. Malah hampir saja digampar salah seorang pejabat yang tampak tidak berkenan dia kejar-kejar.
Selain keki rekan wartawan lain diam-diam salut terhadapnya. Tiga tahun menjadi wartawan kriminal Topang selalu berada di depan dalam soal memperoleh berita-berita eksklusif.
Itu karena jaringannya cukup kuat di kepolisian, kejaksaan, instansi lain dan kalangan preman. Kejadian sekecil apa pun selalu berhasil dideteksinya.
''Mungkin juga karena penampilanmu yang seperti preman turut mendukung,'' gurau salah seorang rekan wartawan satu koran dengannya.
***
SORE, pada hari ketiga sejak kasus itu menjadi berita besar, dia menerima telepon.
''Halo, dari siapa ini ?'' tanyanya.
''Saudara tidak perlu tahu siapa saya. Yang penting, bila ingin selamat jangan teruskan berita Anda,'' suara lelaki itu datar dan dingin.
Belum sempat hendak mengejar lagi, hubungan telepon diputus. Topang tenang-tenang saja.
''Sialan. Gue kok cuma diancam segitu,'' gerutunya sambil kembali ke depan komputernya.
''Diancam siapa, Pang ?'' tanya Boceng, wartawan unit Pemda.
''Tahu, tuh.''
Ancaman memang sudah menjadi hal biasa. Entah berapa kali dia harus menghadapi hal seperti itu. Baik berupa telepon gelap maupun ancaman langsung. Sejauh ini risiko-risiko seperti itu bisa ditanggulangi.
Beberapa kali dihadapi sendiri. Beberapa kali yang lain terpaksa harus meminta tolong kenalan polisi atau tentara.
Namun besoknya telepon dari orang yang sama kembali dia terima. Bahkan dalam sehari sampai tujuh kali. Kalimat yang diucapkan juga sama seperti sebelumnya. Topang tetap cuek tak mempedulikan.
Namun ketika hari-hari berikutnya hal itu berulang, tidak hanya di kantor tapi juga di rumah kontrakannya, kekesalannya mulai terusik ...........

Semarang, April 1997

Tidak ada komentar: