Selasa, 05 Agustus 2008

Tetangga Baru

RUMAH di seberang jalan itu kini berpenghuni setelah hampir setengah tahun kosong. Pemiliknya alih tugas ke luar Jawa dan menitipkannya kepada Pak RT. Jika ada yang mau mengontrak dipersilakan berurusan langsung dengannya.
''Soal uang kontrak tak terlalu menjadi masalah. Yang penting ada yang menempati, sehingga rumah itu tidak rusak atau menjadi sarang hantu,'' ujar Pak RT.
Namun penawaran dari mulut ke mulut sampai berbulan-bulan belum mendapatkan hasil. Menurut desas-desus yang beredar, Pak RT yang diberi wewenang penuh oleh pemiliknya menggunakan aji mumpung.
Ia menerapkan uang kontrak agak tinggi. Sehingga tidak mengherankan setiap kali ada peminat yang mencoba melakukan negosiasi, akhirnya mengundurkan diri karena tidak tercapai kesepakatan.
Ketika akhirnya ada peminat yang jadi menghuni rumah itu, gunjingan yang lain beredar lagi. Menurut tetangga sebelah, Pak RT terpaksa menurunkan penawaran karena terdesak kebutuhan. Anaknya mendaftar jadi pegawai sebuah instansi dan memerlukan uang semir dengan jumlah cukup tinggi. Katanya sekitar sepuluh juta rupiah.
Sekarang pembicaraan di lingkungan RT kami yang terdiri atas dua puluh tujuh kepala keluarga itu, tak pernah lepas dari tetangga baru tersebut.
''Ternyata tetangga baru kita itu wakil rakyat ya,'' kata Diding yang mengaku sudah beberapa kali bertamu.
''Wah, kalau begitu kita bisa titip aspirasi dong,'' sahut Pak Ayat.
'' Ya ya, kita mesti bangga. RT ini menyimpan potensi orang-orang hebat. Ada wakil rakyat, guru banyak, calon sarjana juga buanyakk ...,'' tambah Pak Karun, penjual soto yang hobi main catur.
Tetangga baru itu tak habis-habisnya menjadi bahan perbincangan. Baik di poskamling, di warung-warung, maupun di lapangan tengah kampung tempat warga bersantai dan berolah raga.
Apalagi Pak Sonto, nama tetangga baru itu, serta istri dan tiga anaknya cukup supel bergaul. Dalam waktu singkat hampir seluruh warga RT telah diakrabinya.
Suatu hari istriku dengan wajah berbinar-binar menceritakan, sore sebelum aku pulang kerja Pak Sonto dan istrinya menyempatkan diri berkunjung ke rumah.
''Susah mencari orang seperti mereka sekarang. Mau-maunya meluangkan waktu ke sini hanya untuk memperkenalkan diri. Sudah begitu, ramah-ramah lagi,'' tuturnya.
Aku hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum.
''Sayang kau belum tiba di rumah,'' lanjut istriku.
''Anak sulung perempuannya satu SMU dengan anak laki-laki kita,'' tambahnya.
''O ya?'' ujarku setengah hati menanggapinya.
***
Pesona tetangga baru itu telah membius hampir seluruh warga RT kami. Apalagi dalam rapat RT atau forum ngobrol-ngobrol biasa, wakil rakyat yang diam-diam telah menjadi idola warga tersebut selalu melontarkan ide-ide cemerlang.
Misalnya, ia menyarankan agar jalan kampung kami diaspal biar lebih mulus dan rapi. Mengenai dana, ia berjanji akan menggunakan kedudukannya sebagai wakil rakyat untuk mengajukan proposal ke instansi-instansi terkait.
Belum tuntas idenya yang satu, Pak Sonto kembali melontarkan pemikiran untuk membuat taman-taman di beberapa tempat strategis. Dananya diupayakan secara swadaya dengan cara iuran seluruh warga. Jika belum cukup, ia sanggup mencarikan sponsor dari beberapa perusahaan.
Belum terealisasi gagasannya soal taman, ia mengusulkan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dengan kolam ikan dan ternak ayam.
''Saya kenal pejabat-pejabat instansi yang berkaitan dengan masalah perikanan dan peternakan. Bapak-bapak itu akan saya datangkan untuk memberi penyuluhan, sekaligus membantu kita,'' katanya meyakinkan dalam perbincangan suatu sore di poskamling.
Namun ketika ia hanya ngomong dari satu ide ke ide lain tanpa ada wujud nyatanya, sebagian dari kami mulai menunjukkan ketidaksukaannya. Mereka yang tidak suka biasanya hanya berani ngedumel di belakang.
''Rasa-rasanya bapak wakil rakyat kita ini kok cuma bisa ngomong saja. Tak ada upaya mewujudkannya menjadi kenyataan,'' ujar salah seorang di antara kami.
''Terus terang, respek saya kini mulai berkurang,'' sahut yang lain.



Kendal, Februari 1998

Tidak ada komentar: