Selasa, 05 Agustus 2008

Jemput Aku di Kingsford Airport

TELEPON di ujung tangga menuju lantai dua flat berbunyi. Saat itu aku sedang siap-siap tidur. Dengan mata mengantuk kuraih gagang telepon.
''Halo ....''
''Hei Bob. Lagi ngapain ?'' Suara wanita di ujung sana sangat kukenal. Terutama karena tidak ada orang lain yang memanggil dengan nama itu kecuali dia.
''Farina ya ?!'' jawabku ingin meyakinkan.
Ia tertawa. Tawa khas yang diam-diam selalu menimbulkan rasa rindu.
''Sori ya. Di sini pasti sudah hampir dini hari,'' lanjutnya.
''Pukul dua pagi. Aku baru mau tidur setelah nglembur bikin paper,'' sahutku.
''Di Indonesia pukul 21.00. Berarti selisih tiga jam dengan Australia.''
''Benar. Ada apa kok sempat-sempatnya telepon tengah malam begini ?''
''Lagi iseng saja. Soalnya sedang bosan dan capek.''
Keningku berkerut. Ia selalu mengulang-ulang kalimat itu: Aku sedang bosan, Bob. Aku sedang capek, Bob. Kalau tidak salah telah belasan kali diucapkan, sejak pulang mengikuti kejuaraan Swiss Terbuka sebulan lalu.
''Hei ... melamun ya. Atau ngantuk berat ?''
''Nggak, kok.''
''Jadi, ngobrolnya dilanjutkan ?''
''Of course !''
''Katanya, di sini sedang mengalami puncak musim dingin ya ?''
''Ya. Saat ini aku harus mengenakan pakaian rangkap tiga, celana rangkap dua. Dinginnya minta ampun, Fa. Pukul delapan pagi pun masih menggigil. Apalagi kadang-kadang hujan seharian. Malas mau kemana-mana.''
''Tiap hari kuliah ?''
''Nggak juga. Tapi masih harus memperbaiki bahasa Inggrisku seminggu tiga kali. Tempatnya dekat kok. Paling-paling hanya lima belas menit jalan kaki dari flat.''
''Tempat kuliahnya juga dekat ?''
''Lumayan jauh. Flatku kan di Manly, salah satu suburb di timur laut Sydney. Kampusnya di pusat Kota Sydney. Dari sini naik feri sekitar setengah jam. Lalu ganti bus atau kereta api sepuluh menit.''
''Asik, dong.''
''Asik apanya. Di sini harus kerja keras. Setiap hari isinya belajar melulu. Tugasnya banyak.''
''Setidaknya kamu lebih happy daripada aku.''
''Mana bisa. Jelas kamu lebih happy, dong. Atlet ternama di dunia, kaya, banyak pengagumnya dan ... cantik, hahaha ....''
''Siapa bilang aku happy ?''
''Banyak yang bilang begitu. Masak nggak sih ?''
Ada helaan napas di ujung sana. Kubayangkan, mimik wajahnya kini berubah menjadi serius.
''Terus terang aku nggak happy, Bob,'' jawabnya kemudian.
''Lo. Memangnya kurang apa ?''
''Kamu tahu. Selama ini aku tak bisa memiliki diriku sendiri. Tak bisa menikmati hal-hal yang seharusnya dinikmati anak-anak muda seusiaku. Main, sekolah, pacaran ..... Belasan tahun hidupku hanya berkutat di sekolah khusus atlet, kemudian dari pelatnas ke pelatnas. Aku seolah-olah milik seluruh bangsa. Kalau sukses menjadi juara di suatu turnamen, semua menyanjung. Tapi kalau kalah, semua menyalah-nyalahkan. Sepertinya aku harus menang terus demi mereka. Nggak boleh kalah. Runner up pun nggak boleh. Harus juara ! Aku seperti robot, Bob. Aku bosan dengan itu semua. Capek ....''
''Itulah risiko. Apa pun ada risikonya, Fa. Mestinya kau sudah siap menghadapi. Selama ini kau kunilai sudah cukup dewasa untuk menerima risiko-risiko itu.''
''Tapi ini terlalu berat. Baru sekarang terasa. Nasibmu lebih baik, Bob. Memutuskan untuk memilih dunia lain pada saat yang tepat.''
Mendengar ucapan itu, aku segera ingat kenangan pahit setahun lalu. Dianggap tak mampu berprestasi lagi, lantas dicoret dari pelatnas. Memang, selama hampir tujuh tahun menghuni kompleks atlet-atlet utama bulutangkis, prestasiku jeblok. Tidak pernah jadi juara. Paling banter hanya semifinalis. Itu pun kalau dihitung-hitung belum ada sepuluh kali.
Begitu dicoret memang sempat sakit hati. Namun keluarga dan teman-teman menghibur, termasuk Farina.
''Sudahlah. Masih banyak jalan lain menuju sukses.''
Masih kuingat kata-katanya yang membangkitkan semangat itu. Akhirnya, dengan tabungan yang ada aku melanjutkan studi ke University of Sydney.
''Hei, melamun lagi ya ?'' ujarnya dari seberang sana, menyentakkan hening sekian puluh detik.
''Eh ... nggak. Sampai mana tadi ?''
''Begini. Aku ingin mengundurkan diri, sebelum benar-benar terpuruk menjadi pecundang di mana-mana. Kupikir sudah cukup yang kulakukan selama ini.''
''Jangan dulu, Fa. Kamu masih dalam usia puncak. Bisa bertahan dua atau tiga tahun lagi. Apalagi negeri kita masih membutuhkanmu untuk mempertahankan kejuaraan dunia beregu.''
''Tapi sudah nggak tahan, Bob. Aku ingin merasakan suatu kehidupan yang lain.''
Aku terdiam .........................


Semarang, Maret 1998

Tidak ada komentar: